Sejarah yang kita
pahami selama ini tidak lain merupakan hasil tafsir manusia terhadap fakta
sejarah yang tersusun rapih dalam lembaran-lembaran teks. Kehadiran sejarah
dalam sebuah teks tidak pernah membawa konteks yang melingkupinya. Artinya,
ketika sejarah mulai ditulis, dalam waktu bersamaan konteks realitas lepas dari
padanya. Kehadiran teks dihadapan pembaca seyogianya memahami dan mengkaji
konteks yang melahirkan teks tersebut. Karena ketika seorang pembaca melepaskan
diri dari konteks, maka yang muncul adalah sikap a historis yang acap kali
berujung pada tindakan radikal-fundamentalis.
Kecenderungan itu
menjadi rentan dengan kehadiran sejarah sebagai proses legitimasi terhadap
kepentingan tertentu. Bahkan sejarah dibuat hanya untuk meneguhkan kepentingan
penguasa dan kelompok dominan. Mungkin anda pernah melihat dan mendengar dimana
penguasa tiba-tiba menjadi “sejarawan” yang kemudian menulis sejarah sesuai
dengan nalurinya. Misalnya, sejarah tentang PKI di Indonesia yang ditulis atas
perintah penguasa Orde Baru. Serta buku-buku sejarah yang menjadi bacaan khusus
di setiap lembaga pendidikan formal merupakan hasil konstruksi Orde Baru.
Terkait hal itu,
penulis teringat dengan ungkapan Michel Foucault, bahwa sejarah menjadi sebuah
kebenaran karena ditopang oleh kekuasaan. Faktor relasi kekuasaanlah yang
membuat sejarah punya nilai kebenaran di masyarakat. Meskipun sebenarnya dalam
proses penulisan sejarah tersebut tidak sesuai dengan fakta yang ada atau tidak
objektif.
Penulisan Sejarah Mandar
Ketika membaca dan
menelaah buku sejarah Mandar yang banyak ditulis oleh para sejarawan,
kemungkinan besar anda akan menemukan adanya ketimpangan struktur penulisan di
dalamnya. Juga aroma konstruksi penulis sangat terasa dalam alur penulisan
sejarah mandar sehingga nampak seperti naskah sinetron dan film yang di
dalamnya terdapat unsur pemeran yang bersifat oposisi biner (binary oposition), yakni pemeran
protagonis dan antagonis. Dalam logika perfilman, protagonis adalah peran yang
merepresentasikan sifat baik manusia yang tidak akan pernah berubah. Berbeda
halnya dengan antagonis, yakni peran yang mewakili sifat buruk/jahat manusia
yang selalu meneror manusia protagonis.
Subjektivisme
penulisan sejarah mandar yang ditulis para sejarawan boleh jadi terpengaruh
oleh teori strukturalisme-nya Claude Levi Straus., Yang dalam teorinya,
kehidupan selalu dibagi menjadi dua dengan logika kontradiktif atau oposisi
biner, seperti siang-malam, laki-laki-perempuan, hitam-putih, baik-jahat, dan
seterusnya. Logika seperti inilah yang nampak memenuhi penulisan sejarah
Mandar.
Buku utama yang
menjadi rujukan para sejarawan dalam menulis sejarah mandar adalah lontara Mandar yang masih berbahasa
Mandar. Sedangkan lontara Mandar kemungkinan besar ditulis oleh
kalangan kerajaan Balanipa. Sehingga implikasinya, Balanipa digambarkan sebagai
kerajaan besar yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.
Ditambah lagi buku
sejarah yang ditulis oleh kolonialis Belanda (indolog). Penulisan tentang
Mandar oleh Belanda berawal pada saat terjadinya proses penjajahan di
Indonesia. Motif dari penulisan dan pengkajian tentang Mandar oleh Belanda
tidak lain adalah kepentingan penjajahan demi menanamkan tangan kuasanya di
tanah Mandar serta penguasaan terhadap sektor kekayaan alamnya.
Setelah pasca
hengkangnya kolonislisme Belanda di Indonesia, termasuk di tanah Mandar. Muncul
semacam mental baru dikalangan para sejarawan dan kaum intelektual di
Indonesia, dimana buku-buku yang pernah ditulis oleh kolonialis Belanda menjadi
rujukan utama oleh mereka. Hal yang sama juga terjadi di tanah Mandar, dimana
banyak sejarawan yang mengkaji dan menulis kembali tentang Mandar dengan
mengambil karya-karya Belanda sebagai referensi mereka.
Tidak salah lagi
kalau penjajahan saat ini bukan lagi lewat kekuatan militer, akan tetapi model
penjajahan lewat jalur ideologi dan kebudayaan, meminjam ungkapan Edward W.
Said dalam bukunya, orientalism,
yakni “kekuasaan lewat intelektual”. Sedangkan menurut Eman Hermawan, dulu kita
mengenal namanya tentara Marsose, tentara Indonesia yang bekerja untuk
kepentingan Belanda. Kalau sekarang kita mengenal intelektual Marsose yang
secara ideologi dididik oleh bangsa luar (Barat) atau mafia barkeley, dalam
pandangan David Ransom. Jadi, pada hakekatnya negara ini dijajah oleh
orang-orang Indonesia sendiri.
Inilah bukti kalau
hegemoni kolonialisme di Indonesia masih sangat kuat. Cara pandang dan
karya-karya mereka sangat bias kolonial, termasuk dalam hal penulisan sejarah.
Salah satu ciri-ciri mereka adalah ilmiah-positivistik, yakni kesesuaian antara
ide dan realitas serta menggunakan pendekatan fisika dalam mengkaji kehidupan
sosial masyarakat. Perspektif ini juga dipakai sebagai tolak ukur dalam menilai
kebenaran sejarah. Sehingga kalau ada yang ditemukan sejarah yang tidak sesuai
cara pandang tersebut, maka dianggap bukan bagian dari sejarah. Bagi mereka
sejarah itu ilmiah yang harus dilepaskan dari anasir-anasir mitologi.
Sejarah tutur (lisan)
yang berkembang kuat di masyarakat, khususnya pada masyarakat pinggiran juga
dianggap bukan bagian dari sejarah. Apalagi sejarah tutur yang berkembang di
masyarakat pinggiran banyak yang tidak mampu ditangkap oleh logika manusia.
Kalaupun mereka melogikakannya terkadang hasilnya melenceng dari maksud yang
sebenarnya.
Sejarawan Mandar
misalnya, banyak mengabaikan sejarah tutur yang masih kuat di masyarakat
Mandar. Mereka hanya merujuk sejarah teks yang telah dibakukan dan dibukukan
oleh kelompok terntentu. Baginya, keabsahan sebuah karya sejarah jika ia lahir
dari penuturan yang menyandang gelar sebagai “sejarawan”, bukan dari kaum
pinggiran yang tidak pernah menempuh jenjang pendidikan formal.
Cara pandang seperti
inilah yang melahirkan pemahaman “formalisme sejarah” yang mau tida mau akan
mengeser nalar khas sejarah Mandar yang sedari dulu membentuk identitas
kemandaran. Semakin sejarah kita (Mandar) dikonstruksi oleh paradigma luar,
maka identitas kita sebagai orang Mandar juga semakin pudar dan bahkan hilang
dalam hati sanubari kita.
Passokkorang dalam Sejarah Mandar
Diberbagai buku
sejarah mandar banyak yang menyoal
tentang kerajaan Passokorang seperti buku yang ditulis oleh H.M. Tanawali Azis
Syah dengan judul, “Sejarah Mandar: Polmas, Majene, Mamuju”. Buku ini memiliki
sub bab dengan judul “Passokkorang diserang”. Di dalam buku ini Passokkorang
digambarkan sebagai kerajaan biadab yang suka mengacau pada kerajaan-kerajaan
yang ada di tanah Mandar, khususnya kerajaan Balanipa. Raja Passokkorang juga
dianggap sebagai raja pongah dan lalim yang dalam kehidupannya suka membantai
orang.
Atas kebiadabannya
itulah Passokkorang kemudian diserang oleh kerajaan Balanipa dibantu oleh
kerajaan Alu’ dan para sekutu lainnya. Dari penyerangan itu Passokkorang
mengalami kekalahan sehingga kerajaan dan termasuk rumah-rumah warga di bakar
hingga hangus oleh bala tentara dari Balanipa. Warga yang tidak sempat
melarikan diri juga dibantai secara sadis, termasuk isteri raja, Passangao,
dibunuh oleh Puatta Bulo (Puanna di Bulo).
Takluknya kerajaan
Passokkorang ketangan kerajaan Balanipa merupakan keberhasilan besar oleh
pasukan Balanipa dan sekutunya, serta merupakan awal dari ketentraman warga
mandar secara umum.
Sebenarnya
Passokkorang adalah kerajaan besar yang memiliki wilayah kekuasaan yang cukup
luas. Daerah kekuasaannya meliputi wilayah Mapilli dan Campalagian yang dikenal
dengan sebutan “tallumbanua”. Sedangkan
pusat kerajaannya terletak di wilayah Mapilli. Kerajaan ini besar karena ia
mampu mengakomodasi dan menjalin kerja sama dengan berbagai etnis luar, seperti
etnis Gowa dan Bone. Rajanya adalah manusia biasa yang memiliki kharismatik
kuat dan sangat dihormati oleh rakyatnya sendiri, tidak sebagaimana yang
diasumsikan oleh para sejarawan dan termasuk buku-buku sejarah Mandar yang
menilai raja Passokkorang sebagai sosok yang sangat jahat dan lalim.
Stigmatisasi jahat yang disematkan pada raja Passokkorang, tidak lain karena
penulisan sejarah Mandar selama ini ditulis oleh kalangan kerajaan Balanipa.
Dengan kerajaan
Passokkorang yang semakin hari semakin besar dan kuat secara ekonomi dan
politik membuat kerajaan Balanipa dan kerajaan Alu’ merasa terancam
eksistensinya, apalagi Passokorang merupakan kerajaan baru yang berdiri di
tanah Mandar. Atas dasar itu, pembesar Balanipa dan para pembesar kerajaan Alu’
kemudian bekerja sama untuk menyusun strategi dalam rangka menyerang kerajaan
Passokorang. Bagi tafsir penulis, penyerangan terhadap kerajaan Passokkorang
adalah motif politik yang tidak lain merupakan kecemburuan sosial bagi para
pembesar kerajaan Balanipa dan Alu’, jadi bukan karena Passokkorang adalah
kerajaan pengacau sebagaimana yang di stigma oleh buku-buku sejarah Mandar
selama ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar