Selasa, 06 November 2012

Sejarah Mandar Dalam Tafsir Sejarah Tunggal.


Sejarah yang kita pahami selama ini tidak lain merupakan hasil tafsir manusia terhadap fakta sejarah yang tersusun rapih dalam lembaran-lembaran teks. Kehadiran sejarah dalam sebuah teks tidak pernah membawa konteks yang melingkupinya. Artinya, ketika sejarah mulai ditulis, dalam waktu bersamaan konteks realitas lepas dari padanya. Kehadiran teks dihadapan pembaca seyogianya memahami dan mengkaji konteks yang melahirkan teks tersebut. Karena ketika seorang pembaca melepaskan diri dari konteks, maka yang muncul adalah sikap a historis yang acap kali berujung pada tindakan radikal-fundamentalis.
Kecenderungan itu menjadi rentan dengan kehadiran sejarah sebagai proses legitimasi terhadap kepentingan tertentu. Bahkan sejarah dibuat hanya untuk meneguhkan kepentingan penguasa dan kelompok dominan. Mungkin anda pernah melihat dan mendengar dimana penguasa tiba-tiba menjadi “sejarawan” yang kemudian menulis sejarah sesuai dengan nalurinya. Misalnya, sejarah tentang PKI di Indonesia yang ditulis atas perintah penguasa Orde Baru. Serta buku-buku sejarah yang menjadi bacaan khusus di setiap lembaga pendidikan formal merupakan hasil konstruksi Orde Baru.
Terkait hal itu, penulis teringat dengan ungkapan Michel Foucault, bahwa sejarah menjadi sebuah kebenaran karena ditopang oleh kekuasaan. Faktor relasi kekuasaanlah yang membuat sejarah punya nilai kebenaran di masyarakat. Meskipun sebenarnya dalam proses penulisan sejarah tersebut tidak sesuai dengan fakta yang ada atau tidak objektif.
Penulisan Sejarah Mandar
Ketika membaca dan menelaah buku sejarah Mandar yang banyak ditulis oleh para sejarawan, kemungkinan besar anda akan menemukan adanya ketimpangan struktur penulisan di dalamnya. Juga aroma konstruksi penulis sangat terasa dalam alur penulisan sejarah mandar sehingga nampak seperti naskah sinetron dan film yang di dalamnya terdapat unsur pemeran yang bersifat oposisi biner (binary oposition), yakni pemeran protagonis dan antagonis. Dalam logika perfilman, protagonis adalah peran yang merepresentasikan sifat baik manusia yang tidak akan pernah berubah. Berbeda halnya dengan antagonis, yakni peran yang mewakili sifat buruk/jahat manusia yang selalu meneror manusia protagonis.
Subjektivisme penulisan sejarah mandar yang ditulis para sejarawan boleh jadi terpengaruh oleh teori strukturalisme-nya Claude Levi Straus., Yang dalam teorinya, kehidupan selalu dibagi menjadi dua dengan logika kontradiktif atau oposisi biner, seperti siang-malam, laki-laki-perempuan, hitam-putih, baik-jahat, dan seterusnya. Logika seperti inilah yang nampak memenuhi penulisan sejarah Mandar.
Buku utama yang menjadi rujukan para sejarawan dalam menulis sejarah mandar adalah lontara Mandar yang masih berbahasa Mandar. Sedangkan lontara Mandar kemungkinan besar ditulis oleh kalangan kerajaan Balanipa. Sehingga implikasinya, Balanipa digambarkan sebagai kerajaan besar yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.
Ditambah lagi buku sejarah yang ditulis oleh kolonialis Belanda (indolog). Penulisan tentang Mandar oleh Belanda berawal pada saat terjadinya proses penjajahan di Indonesia. Motif dari penulisan dan pengkajian tentang Mandar oleh Belanda tidak lain adalah kepentingan penjajahan demi menanamkan tangan kuasanya di tanah Mandar serta penguasaan terhadap sektor kekayaan alamnya.
Setelah pasca hengkangnya kolonislisme Belanda di Indonesia, termasuk di tanah Mandar. Muncul semacam mental baru dikalangan para sejarawan dan kaum intelektual di Indonesia, dimana buku-buku yang pernah ditulis oleh kolonialis Belanda menjadi rujukan utama oleh mereka. Hal yang sama juga terjadi di tanah Mandar, dimana banyak sejarawan yang mengkaji dan menulis kembali tentang Mandar dengan mengambil karya-karya Belanda sebagai referensi mereka.
Tidak salah lagi kalau penjajahan saat ini bukan lagi lewat kekuatan militer, akan tetapi model penjajahan lewat jalur ideologi dan kebudayaan, meminjam ungkapan Edward W. Said dalam bukunya, orientalism, yakni “kekuasaan lewat intelektual”. Sedangkan menurut Eman Hermawan, dulu kita mengenal namanya tentara Marsose, tentara Indonesia yang bekerja untuk kepentingan Belanda. Kalau sekarang kita mengenal intelektual Marsose yang secara ideologi dididik oleh bangsa luar (Barat) atau mafia barkeley, dalam pandangan David Ransom. Jadi, pada hakekatnya negara ini dijajah oleh orang-orang Indonesia sendiri.
Inilah bukti kalau hegemoni kolonialisme di Indonesia masih sangat kuat. Cara pandang dan karya-karya mereka sangat bias kolonial, termasuk dalam hal penulisan sejarah. Salah satu ciri-ciri mereka adalah ilmiah-positivistik, yakni kesesuaian antara ide dan realitas serta menggunakan pendekatan fisika dalam mengkaji kehidupan sosial masyarakat. Perspektif ini juga dipakai sebagai tolak ukur dalam menilai kebenaran sejarah. Sehingga kalau ada yang ditemukan sejarah yang tidak sesuai cara pandang tersebut, maka dianggap bukan bagian dari sejarah. Bagi mereka sejarah itu ilmiah yang harus dilepaskan dari anasir-anasir mitologi.
Sejarah tutur (lisan) yang berkembang kuat di masyarakat, khususnya pada masyarakat pinggiran juga dianggap bukan bagian dari sejarah. Apalagi sejarah tutur yang berkembang di masyarakat pinggiran banyak yang tidak mampu ditangkap oleh logika manusia. Kalaupun mereka melogikakannya terkadang hasilnya melenceng dari maksud yang sebenarnya.
Sejarawan Mandar misalnya, banyak mengabaikan sejarah tutur yang masih kuat di masyarakat Mandar. Mereka hanya merujuk sejarah teks yang telah dibakukan dan dibukukan oleh kelompok terntentu. Baginya, keabsahan sebuah karya sejarah jika ia lahir dari penuturan yang menyandang gelar sebagai “sejarawan”, bukan dari kaum pinggiran yang tidak pernah menempuh jenjang pendidikan formal.
Cara pandang seperti inilah yang melahirkan pemahaman “formalisme sejarah” yang mau tida mau akan mengeser nalar khas sejarah Mandar yang sedari dulu membentuk identitas kemandaran. Semakin sejarah kita (Mandar) dikonstruksi oleh paradigma luar, maka identitas kita sebagai orang Mandar juga semakin pudar dan bahkan hilang dalam hati sanubari kita.
 
Passokkorang dalam Sejarah Mandar
Diberbagai buku sejarah mandar  banyak yang menyoal tentang kerajaan Passokorang seperti buku yang ditulis oleh H.M. Tanawali Azis Syah dengan judul, “Sejarah Mandar: Polmas, Majene, Mamuju”. Buku ini memiliki sub bab dengan judul “Passokkorang diserang”. Di dalam buku ini Passokkorang digambarkan sebagai kerajaan biadab yang suka mengacau pada kerajaan-kerajaan yang ada di tanah Mandar, khususnya kerajaan Balanipa. Raja Passokkorang juga dianggap sebagai raja pongah dan lalim yang dalam kehidupannya suka membantai orang.
Atas kebiadabannya itulah Passokkorang kemudian diserang oleh kerajaan Balanipa dibantu oleh kerajaan Alu’ dan para sekutu lainnya. Dari penyerangan itu Passokkorang mengalami kekalahan sehingga kerajaan dan termasuk rumah-rumah warga di bakar hingga hangus oleh bala tentara dari Balanipa. Warga yang tidak sempat melarikan diri juga dibantai secara sadis, termasuk isteri raja, Passangao, dibunuh oleh Puatta Bulo (Puanna di Bulo).
Takluknya kerajaan Passokkorang ketangan kerajaan Balanipa merupakan keberhasilan besar oleh pasukan Balanipa dan sekutunya, serta merupakan awal dari ketentraman warga mandar secara umum.
Sebenarnya Passokkorang adalah kerajaan besar yang memiliki wilayah kekuasaan yang cukup luas. Daerah kekuasaannya meliputi wilayah Mapilli dan Campalagian yang dikenal dengan sebutan “tallumbanua”. Sedangkan pusat kerajaannya terletak di wilayah Mapilli. Kerajaan ini besar karena ia mampu mengakomodasi dan menjalin kerja sama dengan berbagai etnis luar, seperti etnis Gowa dan Bone. Rajanya adalah manusia biasa yang memiliki kharismatik kuat dan sangat dihormati oleh rakyatnya sendiri, tidak sebagaimana yang diasumsikan oleh para sejarawan dan termasuk buku-buku sejarah Mandar yang menilai raja Passokkorang sebagai sosok yang sangat jahat dan lalim. Stigmatisasi jahat yang disematkan pada raja Passokkorang, tidak lain karena penulisan sejarah Mandar selama ini ditulis oleh kalangan kerajaan Balanipa.
Dengan kerajaan Passokkorang yang semakin hari semakin besar dan kuat secara ekonomi dan politik membuat kerajaan Balanipa dan kerajaan Alu’ merasa terancam eksistensinya, apalagi Passokorang merupakan kerajaan baru yang berdiri di tanah Mandar. Atas dasar itu, pembesar Balanipa dan para pembesar kerajaan Alu’ kemudian bekerja sama untuk menyusun strategi dalam rangka menyerang kerajaan Passokorang. Bagi tafsir penulis, penyerangan terhadap kerajaan Passokkorang adalah motif politik yang tidak lain merupakan kecemburuan sosial bagi para pembesar kerajaan Balanipa dan Alu’, jadi bukan karena Passokkorang adalah kerajaan pengacau sebagaimana yang di stigma oleh buku-buku sejarah Mandar selama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar